Akhirnya Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis bersalah kepada AIS dan ES, pegawai Ditjen Perbendaharaan, Senin (9/1). Sesaat, setelah hakim mengetok palunya, AIS dan ES langsung menyatakan banding. Pernyataan banding dari AIS dan ES disambut dengan tepuk tangan ratusan pegawai Ditjen Perbendaharaan yang hadir dalam siding tersebut. Tepuk tangan itu menjadi pertanda dukungan kepada AIS dan ES untuk terus mengupayakan keadilan bagi mereka berdua. Sontak para pegawai Ditjen Perbendaharaan yang hadir saat itu menganggap vonis yang dijatuhkan hakim salah alamat dan tidak mencerminkan rasa keadilan.
AIS selaku penandatangan SP2D divonis bersalah 1,5 tahun dan denda Rp100 juta atau subsidaire 3 bulan kurungan. Sedangkan ES selaku petugas Front Office divonis 1 tahun dan denda Rp100 juta atau subsidaire 3 bulan kurungan. Kedua terdakwa memang tidak terbukti bersalah dan tidak memenuhi dakwaan primair, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang RI Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yaitu: "sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara".
AIS dan ES dinyatakan bersalah oleh hakim karena memenuhi dakwaan subsidair, sesuai dengan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang RI Nomor: 20 Tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Menurut pertimbangan Hakim, AIS dan ES Tidak memenuhi unsur, "sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi". Hakim menilai AIS dan ES memenuhi unsur “menyalahgunakan kewenangan kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara".
Direktur Jenderal Perbendaharaan Agus Suprijanto yang turut juga hadir di ruang sidang Pengadilan Tipikor tampak kecewa dengan putusan sidang. Agus Suprijanto berharap AIS dan ES dapat dibebaskan pada proses hukum selanjutnya.
Dirjen Perbendaharaan beranggapan bahwa pledoi AIS dan ES sudah sangat baik, sehingga semestinya hakim mempertimbangkannya ketika menjatuhkan vonis. “Saya tidak mengerti kenapa hakim tidak mempertimbangkan pembelaan yang kita sampaikan, padahal Mas Agus dan Mas Erfan sudah membuat pembelaan dengan sangat baik,” tandasnya.
Agus Suprijanto juga menegaskan kekecewaannya karena tidak pernah diungkapnya soal Surat Pertanggungjawaban Mutlak selama persidangan. Padahal, imbuhnya, hal itu sangat penting untuk membuktikan wewenang dan tanggung jawab Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam pelaksanaan anggaran negara.
Kegemasannya tak hanya ditujukan kepada hakim. Dirjen Perbendaharaan pun menilai pihak Kuasa Pengguna Anggaran kurang bertanggung jawab terhadap wewenang pengelolaan keuangan negara yang dimilikinya. “Kalau memang KPA tidak mampu bertanggung jawab, kita ambil lagi wewenang ordonansering. Memang, itu nanti akan berdampak pada lamanya pelayanan. Proses pencairan dana di KPPN akan menjadi lebih lama,” ungkapnya. Namun lebih lanjut, Agus Suprijanto meminta wacana perubahan peraturan itu, terkait dengan pengelolaan keuangan negara dapat dikaji lebih dalam oleh para ahli.
Sesaat setelah putusan Hakim dijatuhkan, dilakukan rapat terbatas Pimpinan Ditjen Perbendaharaan bersama perwakilan pegawai Ditjen Perbendaharaan. Dialog terbuka dilakukan dalam rapat itu. Agus Suprijanto berkomitmen memberikan dukungan formal dan informal secara penuh dan intensif. Secara eksternal dirinya akan memberikan penjelasan kepada pihak-pihak terkait mengenai kasus ini dengan prinsip dan ketentuan bidang Perbendaharaan Negara. Hal ini dituangkan dalam surat Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor : S-273/PB/2012 tanggal 11 Januari 2012 tentang Tindak Lanjut Pasca Putusan Pengadilan Atas Kasus KPPN Jakarta II.
Kasus hukum yang sekian lama menyita perhatian warga Ditjen Perbendaharaan ini terjadi pada bulan November 2008. Satu dari dua SPM milik sebuah satker Departemen Pekerjaan Umum yang diajukan kepada KPPN Jakarta II ternyata fiktif. AIS dan ES adalah pelaksana dan kepala Seksi Perbendaharaan, yang bertugas untuk memeriksa dan mengesahkan pencairan dana proyek tersebut.
Sejak saat itulah kisah tersebut dianggap oleh jajaran Ditjen Perbendaharaan penuh kontroversi. Oleh pihak kepolisian pada awal tahun 2010 mereka resmi diperiksa sebagai saksi, sebelum akhirnya dinyatakan sebagai tersangka dan ditahan pada akhir Februari 2011. Banyak pihak mengungkapkan bahwa proses hukum yang harus dijalani oleh Agus dan Erfan merupakan sesuatu hal yang tidak adil, yang semestinya tidak ditimpakan kepada pegawai yang telah menjalankan pekerjaan berdasarkan pada Standard Oprerating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan.
Bahkan Siswo Sujanto, mantan Sekretaris Ditjen Perbendaharaan yang juga salah seorang founding father paket undang-undang bidang keuangan negara, mengungkapkan bahwa mustahil SPM fiktif bisa diproses menembus sistem aplikasi yang dipunyai oleh KPPN. Arsip data komputer SPM, katanya, harus mengandung kunci-kunci berupa inskripsi yang sesuai agar bisa diproses lebih lanjut oleh KPPN. Inskripsi itu hanya dapat diperoleh dari sistem aplikasi SPM yang dimiliki oleh satker. Artinya, tak ada peluang bagi SPM palsu atau fiktif untuk dicairkan dananya. Dengan kata lain, sesungguhnya SPM yang menjadi sumber masalah dalam kasus Agus dan Erfan tidaklah palsu atau fiktif.
sumber
AIS selaku penandatangan SP2D divonis bersalah 1,5 tahun dan denda Rp100 juta atau subsidaire 3 bulan kurungan. Sedangkan ES selaku petugas Front Office divonis 1 tahun dan denda Rp100 juta atau subsidaire 3 bulan kurungan. Kedua terdakwa memang tidak terbukti bersalah dan tidak memenuhi dakwaan primair, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang RI Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yaitu: "sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara".
AIS dan ES dinyatakan bersalah oleh hakim karena memenuhi dakwaan subsidair, sesuai dengan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang RI Nomor: 20 Tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Menurut pertimbangan Hakim, AIS dan ES Tidak memenuhi unsur, "sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi". Hakim menilai AIS dan ES memenuhi unsur “menyalahgunakan kewenangan kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara".
Direktur Jenderal Perbendaharaan Agus Suprijanto yang turut juga hadir di ruang sidang Pengadilan Tipikor tampak kecewa dengan putusan sidang. Agus Suprijanto berharap AIS dan ES dapat dibebaskan pada proses hukum selanjutnya.
Dirjen Perbendaharaan beranggapan bahwa pledoi AIS dan ES sudah sangat baik, sehingga semestinya hakim mempertimbangkannya ketika menjatuhkan vonis. “Saya tidak mengerti kenapa hakim tidak mempertimbangkan pembelaan yang kita sampaikan, padahal Mas Agus dan Mas Erfan sudah membuat pembelaan dengan sangat baik,” tandasnya.
Agus Suprijanto juga menegaskan kekecewaannya karena tidak pernah diungkapnya soal Surat Pertanggungjawaban Mutlak selama persidangan. Padahal, imbuhnya, hal itu sangat penting untuk membuktikan wewenang dan tanggung jawab Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam pelaksanaan anggaran negara.
Kegemasannya tak hanya ditujukan kepada hakim. Dirjen Perbendaharaan pun menilai pihak Kuasa Pengguna Anggaran kurang bertanggung jawab terhadap wewenang pengelolaan keuangan negara yang dimilikinya. “Kalau memang KPA tidak mampu bertanggung jawab, kita ambil lagi wewenang ordonansering. Memang, itu nanti akan berdampak pada lamanya pelayanan. Proses pencairan dana di KPPN akan menjadi lebih lama,” ungkapnya. Namun lebih lanjut, Agus Suprijanto meminta wacana perubahan peraturan itu, terkait dengan pengelolaan keuangan negara dapat dikaji lebih dalam oleh para ahli.
Sesaat setelah putusan Hakim dijatuhkan, dilakukan rapat terbatas Pimpinan Ditjen Perbendaharaan bersama perwakilan pegawai Ditjen Perbendaharaan. Dialog terbuka dilakukan dalam rapat itu. Agus Suprijanto berkomitmen memberikan dukungan formal dan informal secara penuh dan intensif. Secara eksternal dirinya akan memberikan penjelasan kepada pihak-pihak terkait mengenai kasus ini dengan prinsip dan ketentuan bidang Perbendaharaan Negara. Hal ini dituangkan dalam surat Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor : S-273/PB/2012 tanggal 11 Januari 2012 tentang Tindak Lanjut Pasca Putusan Pengadilan Atas Kasus KPPN Jakarta II.
Kasus hukum yang sekian lama menyita perhatian warga Ditjen Perbendaharaan ini terjadi pada bulan November 2008. Satu dari dua SPM milik sebuah satker Departemen Pekerjaan Umum yang diajukan kepada KPPN Jakarta II ternyata fiktif. AIS dan ES adalah pelaksana dan kepala Seksi Perbendaharaan, yang bertugas untuk memeriksa dan mengesahkan pencairan dana proyek tersebut.
Sejak saat itulah kisah tersebut dianggap oleh jajaran Ditjen Perbendaharaan penuh kontroversi. Oleh pihak kepolisian pada awal tahun 2010 mereka resmi diperiksa sebagai saksi, sebelum akhirnya dinyatakan sebagai tersangka dan ditahan pada akhir Februari 2011. Banyak pihak mengungkapkan bahwa proses hukum yang harus dijalani oleh Agus dan Erfan merupakan sesuatu hal yang tidak adil, yang semestinya tidak ditimpakan kepada pegawai yang telah menjalankan pekerjaan berdasarkan pada Standard Oprerating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan.
Bahkan Siswo Sujanto, mantan Sekretaris Ditjen Perbendaharaan yang juga salah seorang founding father paket undang-undang bidang keuangan negara, mengungkapkan bahwa mustahil SPM fiktif bisa diproses menembus sistem aplikasi yang dipunyai oleh KPPN. Arsip data komputer SPM, katanya, harus mengandung kunci-kunci berupa inskripsi yang sesuai agar bisa diproses lebih lanjut oleh KPPN. Inskripsi itu hanya dapat diperoleh dari sistem aplikasi SPM yang dimiliki oleh satker. Artinya, tak ada peluang bagi SPM palsu atau fiktif untuk dicairkan dananya. Dengan kata lain, sesungguhnya SPM yang menjadi sumber masalah dalam kasus Agus dan Erfan tidaklah palsu atau fiktif.
sumber
0 comments:
Post a Comment